Hidup dengan Menghidupkan Al Quran
Kamis, 8 Juni 2017, saat
bulan Ramdhan menginjak hari ketiga belas, saya beserta beberapa teman dari
Lingkar Inspirasi UNJ berkesempatan untuk bertemu dan berbincang dengan Ibu
Ellita Permata Wijayanti. Beliau adalah seorang dosen Fakultas Bahasa dan Seni
yang merupakan lulusan S1 Sastra Inggris Universitas Diponegoro, S2 sastra
Universitas Gadjah Mada dan pernah menjalani summer course di Jerman selama 3 bulan.
Ibu Ellita sejak bangku
sekolah menengah tidak tertarik dengan organisasi, khususnya rohis dan OSIS.
Untuk apa berkumpul dan sibuk dalam organisasi seperti itu, piker beliau kala
itu. Wajar tentunya, karena beliau adalah seseorang yang Academic Oriented.
“Finally
I found my God”, tuturnya setelah bercerita tentang first impression saat bergabung
dengan rohis.
Tidak hanya rohis, tetapi
Bu Ellita pun aktif di BEM semasa kuliahnya. Hingga tiba saatnya orang tua beliau
melarang untuk berorganisasi karena di samping menjadi seorang aktivis, Ibu
Ellita pun menjadi freelancer
sebagai penerjemah. Dari larangan orang
tuanya tersebut, beliau berjanji kepada orang tuanya bahwa beliau bisa menjadi
seorang aktivis yang berprestasi, jika beliau gagal menepati janjinya, maka
beliau berhenti berorganisasi.
Ibu Ellita yang sedari di
bangku sekolah sudah merantau, pun ingin mematahkan berbagai stigma yang ada
tentang aktivis.
“Di mata dosen, aktivis
itu suka demo, lulusnya lama atau paling di DO, IPK-nya rendah”, kenangnya.
“Wahai orang-orang yang beriman! Jika kamu menolong (agama) Allah,
niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.” (Q.S. Muhammad
[47]: 7)
Pada semester 7, Ibu
Ellita bersama teman-temannya menggagas suatu gerakan akademis yang dinamai Forum Akademik Undip (FAU) dengan tujuan
agar para aktivis tidak lekat dengan kata Drop
Out atau paling tidak, FAU dapat dijadikan sebagai teladan. Melalui FAU
ini, beliau merasa bertemu denga teman-teman yang sholeh, yang menghidupkan Al
Quran. Bu Ellita belajar dan selalu mengingat bahwasanya Allah menyukai orang
bersungguh-sungguh.
Di semeseter 8, meski
sibuk dalam menggarap skripsi, beliau senantiasa terus berorganisasi, meskipun
banyak rekan sejawatnya yang memutuskan untuk tidak berorganisasi lagi. Bagi
beliau, organisasi adalah lading beramal, karena ilmu yang didapatkan, bisa
diamalkan dalam sebuah organisasi.
Perjalanan hidup pun
tidak lepas dari terjalnya kerikil yang menghadang. Begitu pula dengan Ibu
Ellita, saat tengah menyusun skripsi, dosen pembimbing beliau jatuh sakit,
beliau tertabrak motor dan kendala lainnya. Namun Bu Ellita memiliki prinsip
bahwa keyakinan dapat mengalahkan logika. Beliau yakin dengan tetap membantu
orang, maka Allah akan mempermudah urusannya. Maka benar saja, Bu Ellita
dimudahkan skripsinya, bahkan menjadi wisudawan terbaik saat itu. Beliau
berhasil mematahkan stigma pada aktivis saat itu!
Begitu banyak kemudahan
yang Bu Ellita dapat karena menghidupkan Al Quran. Bahkan saat beliau menyusun
thesis, Allah berikan kemudahan. Beliau pernah sangat kebingungan karena tidak
mendapatkan buku yang beliau butuhkan untuk thesis. Selalu ada kendala yang
menghalangi beliau untuk mendapatkan buku tersebut. Hingga pada akhirnya beliau
pasrah dan yakin bahwa sangat mudah bagi Allah mengirimkan buku yang beliau
butuhkan. Tidak lama kemudian, ada seorang temannya yang memberikan bantuan
dengan mengirimkan buku-buku yang beliau butuhkan dalam bentuk pdf. Maha Besar
Allah atas segala pertolonganNya.
“Semua kembali lagi ke niat awal kita. Kalau
niat kita berprestasi cuma biar
dipandang orang lain, maka itu yang kita dapat. Tapi kalau kita punya value life yang lebih dari itu, contoh
kita berprestasi karena ingin bermanfaat bagi orang lain, maka Allah akan
berikan yang lebih dari itu. Prestasi itu jangan
dikejar. Prestasi ekor dari tujuan yang sungguh-sungguh kepada Allah. Kalau ngejar
prestasi, ketiika gak dapat akan down seperti kehilangan arah hidup,”
jawabnya, seakan mengerti pertanyaan di dalam benak saya mengapa saya selalu
merasa gelisah ketika gagal.
“Akademis adalah dakwah
saya. akademik harus bagus, harus menjadi contoh untuk teman-teman. Belajar
sungguh-sungguh biar mengajari teman. Harus tepat waktu dalam segala hal,
membangun citra positif, rapi penampilan, berusaha aktif dalam kelas, jd enak
untuk mengajak teman kepada kebaikan. Ternyata tidak semua aktifis kuliahnya
berantakan”, tambahnya.
“Justru karena kita aktivis,
harus terbaik di akademis. Justru karena kita aktivis, paling jago manajemen
waktu. Justru karena kita aktivis, paling jago manajemen konflik. Justru karena
kita aktivis, jadi dekat dengan Allah, dekat dengan orang sholeh dan jadi
berguna bagi orang lain,” pungkasnya menutup pertemuan yang membuat saya dan
teman-teman LI menjadi sangat terinspirasi.
|
#BerkaryaTanpaJeda
#Menginspirasi TiadaHenti
Komentar
Posting Komentar